Selasa, 28 Juli 2009

OBLIGASI SYARIAH

I. Pendahuluana

Pembahasan dalam makalah ini mungkin dirasakan membosankan karena sudah seringkali disajikan di media massa nasional. Namun penulis ingin mengulanginya sekali lagi karena tanpa gambaran secara lengkap maka analisis mengenai obligasi syari’ah yang sedang dibahas dalam makalah ini tidak dapat dimengerti seutuhnya.

Pada dasarnya bank-bank di Indonesia harus memenuhi persyaratan kecukupan modal yang disebut capital adequancy ratio (CAR). CAR adalah modal sendiri dibagi dengan aset tertimbang menurut risiko (ATMR). Ketika bagian terbesar dari bank-bank di nusantara rusak tahun 1997 akibat krisis moneter yang dihadapi ekonomi Indonesia. Bank tersebut dibagi kedalam tiga kategori. Kategori A dianggap sehat karena CAR-nya sudah 4% atau lebih, kategori C adalah yang car-nya lebil buruk dari minus 25%, sehingga bank kategori C ditutup oleh pemerintah. Bank yang termasuk kategori B adalah yang CAR-nya antara 25% - 4%. Bank kategori B ini sebenarnya harus ditutup karena dianggap tidak dapat mempertanggungjawabkan dalam mengelola uang masyarakat. Hal ini masuk akal karena hampir dapat dipastikan bahwa bank seperti ini akan menggunakan uang nasabah untuk membiayai kebutuhan rutin. Namun pemerintah ketika itu tidak mempunyai uang untuk menutup bank-bank kategori B ini. Untuk menutup bank, pemerintah harus mengeluarkan uang tunai untuk membayar kembali semua uang masyarakat. Maka diputuskan bahwa bank-bank ini harus disehatkan dengan membuat CAR menjadi 4% dengan cara yang cukup ruwet yang pada intinya adalah bank diberi surat pernyataan utang oleh pemerintah atau obligasi rekapitalisasi (rekap) bank. Bagi yang menerima obligasi rekap adalah kekayaan yang letaknya di sebelah kiri neraca. Dalam pembukuan dengan double entry system, apabila ada yang dimasukkan sebagai debet maka harus ada yang di kredit, maka yang di kredit adalah pos modal sendiri.

Jumlah obligasi yang telah diterbitkan pemerintah lebih besar dari Rp 650 trilyun. Tetapi yang dipakai untuk merekapitalisasi bank-bank yang tidak sehat mencapai Rp 450 trilyun. Jumlah ini terdiri atas kelompok-kelompok (batches) dari obligasi rekap dengan tanggal jatuh tempo dan tingkat bunga yang berbeda-beda. Sebelum obligasi rekap dilunasi karena belum jatuh tempo, pemerintah harus membayar bunganya. Jumlah bunga keseluruhannya menjadi Rp 600 trilyun. Jadi, jumlah minimal yang harus dibayarkan pemerintah mencapai Rp 1030 trilyun. Namun, bilamana pada tanggal jatuh temponya pemerintah tidak membayar karena tidak mempunyai uang tunai maka pemerintah dapat menunda pembayarannya.

Dalam hal ini jumlah utang pokok tidak bertambah, tetapi selama ditunda, untuk jangka waktu tersebut bunga harus tetap dibayarkan. Dengan demikian, jumlah kewajiban pembayaran bunganya membengkak. Pembengkakannya mencapai berapa? Tergantung pada banyak faktor, yaitu ditunda dengan berapa lama, kelompok mana yang ditunda, berapa tingkat suku bunganya, dan obligasi rekap yang ditunda dilindungi nilainya terhadap inflasi atau tidak.

Divisi perencanaan dan Sekretariat Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) membuat perhitungan dan berbagi skenario tentang jumlah keseluruhan dari kewajiban pemerintah untuk membayar pokok obligasi rekap berikut bunganya. Skenario terbaik adalah Rp 1030 trilyun yang telah disebut tadi. Skenario terburuk adalah kalau setiap obligasi rekap ditunda pembayarannya dengan satu termin (tenor). Dalam hal ini jumlahnya akan membengkak menjadi Rp 7000 trilyun, dan kalau dalam skenario terburuk ini, obligasi rekap lindung nilai diperhitungkan, jumlah keseluruhan membengkak menjadi Rp 14000 trilyun. Dengan kurs rupiah Rp 9000,00 per US$, jumlah ini serta dengan US$ 1,6 trilyun, sebuah angka yang bagi pemerintah AS juga sangat berat menanggungnya.

Analisa yang sudah dijelaskan di atas tidak bermaksud memberi pendapat mengenai perlu tidaknya pemerintah melindungi para banker yang besar dan mengorbankan banyak rakyatnya. Tetapi untuk memberi gambaran mengenai keburukan dan kehancuran akibat bunga, yang bisa menghancurkan ekonomi sebuah negara dan membuat rakyat negara tersebut lebih sengsara.

Perkembangan institusi syariah di Indonesia kembali membuka lembaran baru. Suatu bentuk obligasi syariah sudah lahir di tengah kondisi pasar modal yang lesu, instrumen baru ini diharapkan menjadi alternatif baru investasi jangka panjang dengan menggunakan asas-asas hukum Islam. Produk syariah yang berkembang di mancanegara sebenarnya sudah relatif banyak. Dan yang penting, hampir seluruhnya menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Untuk Indonesia, perkembangan produknya cukup baik dan telah mendapat dukungan positif dari berbagai pihak. Terutama pada perbankan dan reksadana syariah yang menonjol dibandingkan yang lain.

Makalah ini bertujuan untuk menjelaskan pendapat Ulama Islam mengenai Baiyul Dayn (jual utang) dan perbedaannya dengan obligasi; pendapat para ulama Islam yang temporir mengenai obligasi yang mendasari terjadinya perbedaan pandangan mengenai obligasi konvensional dewasa ini; dan pada bagian akhir paper penulis akan memberi analisis yang rinci mengenai munculnya obligasi syariah di Indonesia serta gambaran mengenai manfaat dari obligasi syariah terhadap lembaga keuangan syariah di Indonesia.

Pengertian Obligasi Syariah

Secara umum obligasi atau bond merupakan surat utang dari suatu lembaga atau perusahaan, yang dijual kepada investor untuk mendapatkan dana segar. Para investor akan mendapatkan return dalam bentuk tingkat suku bungan tertentu yang sangat bervariasi, tergantung kekuatan bisnis dan bonafiditas penerbitnya. Suku bunga ini bisa dibayarkan secara tetap atau berjenjang. Dalam pasar uang yang sudah berkembang dengan baik bentuk dan jenis obligasi bisa mencapai belasan bahkan puluhan termasuk di antaranya ada yang bisa dikonversikan dengan saham perusahaan penerbit (convertible bonds).

Berbeda dengan konsep umum obligasi di atas, obligasi syari’ah bukan merupakan utang berbunga tetap, tetapi lebih merupakan penyertaan dana yang didasarkan pada prinsip bagi hasil. Landasan transaksinya bukan akad utang piutang melainkan penyertaan. Obligasi sejenis ini lazim digunakan muqaradhah bond. (muqaradhah merupakan nama lain dari mudharabah, ahli Irak sering menggunakan istilah yang pertama sementara kaum Hijaz menggunakan yang kedua).

Dalam bentuknya yang sederhana obligasi syariah diterbitkan oleh sebuah perusahaan sebagai pengelola (mudharib) dan dibeli oleh investor (sahib al-mal). Dana yang terhimpun dapat disalurkan untuk pengembangan usaha lama atau pembangunan suatu unit baru yang benar-benar berbeda dari usaha lama. Bentuk alokasi dana yang khusus (specially dedicated) dalam syariah dikenal dengan istilah mudharabah muqayyadah. Atas penyertaannya investor berhak mendapatkan nisbah keuntungan tertentu yang dihitung secara proporsional dan dibayarkan secara periodik.

Dengan melihat penjelasan di atas istilah yang tepat untuk obligasi syariah adalah syahadatu istismar (investmen certificate) atau mudharabah bond. Denagan menamai sertifikat investasi maka kita akan mengesampingkan asosiasi bunga tetap yang melekat pada obligasi biasa. Demikian juga dengan memberikan imbuhan mudharabah sebelum bond akan menjadi instrumen ini benar-benar profit sharing based dan bukan fixed pre-determined return.

Beberapa negara Arab seperti Emirat Arab, Bahrain, Kuwait, Sudan dan Mesir menamai “obligasi syariah” dengan syahadatu istismar sementara Malaysia menamainya dengan mudharabah bond. Khusus untuk negeri kita, mengingat dua istilah tersebut masih asing, maka tidak ada salahnya untuk sementara menamainya dengan “obligasi syariah) dengan catatan beberapa karakteristik yang tidak sesuai syariah dari obligasi bisa ditinggalkan.

II. Perbedaan Pendapat sekitar Hukum Jual-Beli Obligasi Konvensional pada para Ulama Islam Temporer

A. Pendapat Pertama

Sebagian besar ulama Islam temporir melarang jual beli obligasi konvensional dalam semua jenis dan secara keseluruhan, serta menganggap bahwa hukumnya haram mutlak. Para ulama yang berpendapat seperti itu ialah Syaik Shaltut, Muhammad Yusuf Mussa, Syaik Yusuf Qardawi, Abdul Aziz al Kahiat, Ali al Salus, dan Saleh Marzuki dengan memberi petunjuk fiqh yang menjadi dasar keluarnya fatwa larangan tersebut yaitu:

1. Obligasi konvensional yang dikeluarkan oleh perusahaan atau pemerintah dianggap sama seperti utang yang didalamnya terdapat bunga. Bunga ini bisa dikategorikan sebagai riba al nasia yang diharamkan oleh Islam.

2. Utang obligasi sama dengan deposito yang disimpan dalam bank, dan hitungan bunga atas obligasi dianggap sama dengan bunga deposito, walaupun uang dari obligasi itu bisa diinvestasikan secara khusus setelah diserahkan kepada pihak yang mengeluarkan obligasi serta dijamin atas pengembaliannya setelah jatuh tempo plus tambahnya (bunga). Cara ini dianggap sama saja dengan utang yang dipakai untuk produksi yang dikenal di zaman jahiliah dan diharamkan oleh Quran dan Sunah.

Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa obligasi konvensional yang dikeluarkan oleh pemerintah dan perusahaan dianggap haram hukumnya karena tercantum didalamnya bunga, pendapat ini sudah menjadi sebuah kesepakatan diantara ulama Islam serta hasil yang sudah dicapai oleh banyak konferensi ekonomi Islam di seluruh dunia.

B. Pendapat yang Kedua

Pendapat atau dalam bahasa fiqh fatwa yang dikemukakan oleh Mufti Mesir Syaik Muhammad Said al Tantawi bahwa jual-beli obligasi pemerintah atau seperti yang dikenal di Mesir dengan nama Sertifikat Investasi diperbolehkan oleh syariah dan keuntungan yang terdapat dari kepemilikan obligasi itu adalah halal mutlak. Petunjuk yang menjadi dasar keluarnya fatwa itu ialah:

1. Bahwa obligasi (Sertifikat Investasi) adalah gambar lain dari Mudaraba yang dihalalkan oleh syariah Islam.

2. Bahwa obligasi sebuah transaksi keuangan baru yang diindikasikan menciptakan manfaat besar kepada bangsa.

3. obligasi dibeli oleh para investor untuk membantu pemerintah dalam melaksanakan program pembangunan bukan dengan tujuan mengambil keuntungan atas kebutuhan orang lain.

4. Bunga yang diambil oleh pemegang obligasi ialah satu jenis dengan hadiah atau hiba, dan pemerintah bisa memberi bonus dan hiba kepada penduduknya yang rasional. Sesuai dengan sabda rasul “Barangsiapa yang berbuat kepada kalian kebaikan maka balaslah kebaikan itu dengan hadiah”, dan hadiah itu sesuai dengan firman Allah SWT dalam Al-Quran “Apabila kamu diberikan penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu dengan yang serupa. Sesungguhnya Allah selalu membuat perhitungan atas tiap-tiap sesuatu”. Maka untuk itu lembaga fatwa Republik Mesir berpendapat bahwa para pejabat di bank sentral Mesir harus mengganti kata bunga yang tercantum dalam obligasi tersebut dengan kata hasil investasi atau laba investasi.

5. Karena dalam transaksi jual-beli obligasi tersebut tidak terdapat unsur paksaan dan terjadi atas taradi (mutual consent) antara dua belah pihak maka transaksi ini sah dari segi syariah Islam.

B. Pendapat yang Ketiga

Pendapat beberapa ulama temporir diantaranya Syaik Abdul Aazim Bar’kah, dan Syaik Jadel Hak Ali Jadel Hak (Mantan Mufti Republik Mesir) bahwa diperbolehkan untuk memperjualbelikan obligasi yang tidak tercantum riba didalamnya, yaitu suatu jenis obligasi yang menjanjikan sebuah hadiah besar yang diundi di waktu yang sudah ditentukan, karena janji untuk memberi sebuah hadiah telah diperbolehkan oleh beberapa para ulama fiqh. Petunjuk yang menjadi dasar keluarnya fatwa itu ialah:

1. Obligasi itu memberi kemanfaatan bagi negara dan para pemegang obligasi secara perorangan.

2. Bahwa obligasi yang menjanjikan hadiah bisa dimasukan dalam bab perjanjian untuk memberi hadiah. Dan pengambilan serta penggunaan hadiah tersebut diperbolehkan.

Penulis berpendapat bahwa yang paling bisa diterima di antara semua fatwa para ulama di atas ialah fatwa para ulama yang mengharamkan obligasi konvensional untuk semua jenis, karena obligasi itu adalah utang yang berbunga atau dalam kata lain uang yang sudah dipinjamkan kepada perusahaan atau pemerintah dengan imbalan bunga (riba) yang diberikan kepada para kreditor. Sementara itu ribanya termasuk dalam riba al nasia yang secara jelas diharamkan oleh Qur’an dan Sunnah.

Alasan Ulama mengenai halalnya obligasi bisa dibantahkan dengan:

1. Ulama yang berpendapat bahwa obligasi ialah transaksi yang sama hukumnya dengan mudaraba. Pendapat ini tidak benar karena mudaraba merupakan sebuah kontrak Musharakah (menjalankan kemitraan) antara kedua pihak yaitu orang yang mempunyai modal dan orang mudarib untuk menjalankan usaha yang halal . Keuntungan yang dihasilkan oleh mudaraba dibagi sesuai kesepakatan yang sudah disetujui antara kedua belah pihak dan mudarib tidak dibebani sesuatu dari kerugian yang terjadi di luar faktor kelalaiannya karena dia telah ikut serta dalam mudaraba dengan kerja, waktu dan pikiran. Dengan demikian terdapat perbedaan antara mudaraba dengan obilgasi karena keuntungan dalam mudaraba tidak dijamin dan kerugian dibebankan kepada yang mempunyai modal.

2. Ulama yang berpendapat bahwa obligasi bisa membawa kemanfaatan dan membantu pemerintah. Pendapat ini tidak sah karena kasus yang sudah dijelaskan dalam pembukaan paper ini memberi sebuah bukti bahwa obligasi bisa membawa kehancuran ekonomi negara dan utang sebesar Rp 450 trilyun bisa menjadi Rp14.000 trilyun. Hal ini jelas membawa kesengsaraan kepada orang banyak dan Islam tidak menyetujui adanya kezaliman.

3. Ulama yang berpendapat bahwa bunga yang diberikan kepada pemegang obligasi ialah sama saja dengan hadiah dan hibah dari pemerintah yang diberikan kepada penduduknya yang rasional. Pendapat ini juga tidak sah karena Undang-undang yang mengatur masalah obligasi menganggap bahwa bunga yang tercantum dalam obligasi wajib dibayar oleh pihak yang mengeluarkannya dan melarang pihak yang mengeluarkan obligasi untuk menolak pembayarannya. Ini tidak bisa dibandingkan dengan hibah dan hadiah yang tidak mengikat orang yang menjanjikannya. Lebih jauh lagi sebenarnya bunga yang dibayar oleh pemerintah dan perusahaan atas obligasi yang dikeluarkan ialah tambahan yang sudah disyaratkan dalam akad utang (obligasi) sebagai ganti atas waktu yang diberikan sampai jatuh tempo dan berdasarkan presentase atas nilai nominal obligasi. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa bunga obligasi sama saja dengan riba al nasia. Dengan kata lain hukumnya tetap riba walaupun namanya diubah-ubah karena permasalahan bukan di sekitar nama.

4. Ulama yang berpendapat bahwa terjadinya taradi antara kedua belah pihak yang membuat transaksi ini sah dari segi syariah Islam. Pendapat ini tidak sah karena taradi atas sesuatu yang haram tidak menghalalkannya dan banyak transaksi yang diharamkan oleh syariah terjadi atas taradi.

5. Ulama yang berpendapat bahwa obligasi yang menjanjikan hadiah adalah halal. Pendapat itu tidak benar karena hadiah itu ialah pengganti bunga yang diberi berdasarkan undian dan memasukkannya ke dalam masalah yang lebih rumit yaitu maysir (judi) yang dilarang oleh Islam dan tidak ada satu mazhab fiqh yang menghalalkan judi.

III. bay’al-dayn dalam figih klasik dan perbedaannya dengan obligasi

bay’al-dayn (jual utang) sebuah istilah yang dikenal dalam buku fiqh klasik dianggap oleh banyak ulama temporir sama dengan obligasi. Menurut penulis pendapat itu tidak benar karena terdapat perbedaan yang mendasar antara transaksi bay’al-dayn dengan obligasi konvensional maupun obligasi syariah. Untuk lebih memahami dua transaksi tersebut maka penulis akan membahas bay’aldayn yang terdapat dalam fiqh klasik dan obligasi syariah, dari pembahasan ini diharapkan akan bisa menarik kesimpulan bahwa dua transaksi tersebut berbeda dan tidak bisa dihubungkan.

A. bay’al-dayn :-

Bay’al-dayan (jual utang) bisa dilakukan dengan dua cara yaitu; (pertama) menjualnya kepada debitor secara langsung dengan melunasi utangnya di saat jatuh tempo atau menunda pembayaran utangnya pada waktu yang disepakati antara kreditor dan debitor; (kedua) menjual utang tersebut kepada orang lain.

Cara yang pertama diperbolehkan oleh para ulama fiqh dengan syarat yaitu; tidak terjadi riba dan garar dalam melunasi atau menunda utang tersebut, dan tidak terjadi penambahan jumlah utang sebagai syarat untuk menunda pelunasan utang tersebut.

Cara yang kedua tidak diperbolehkan oleh Abu Hanifah, Ahmad Bin Hambal dan Imam Syafa’i, tetapi Imam Malik memperbolehkannya kalau sudah memenuhi delapan syarat yang menjamin tidak terjadinya riba dan garar yaitu:

1. Bahwa debitor harus berada di kota untuk diketahui keadaan ekonominya, apakah dia kaya atau miskin.

2. Bahwa debitor harus sudah mengakui utangnya untuk mencegah terjadinya konflik atau mengingkari utang tersebut.

3. Bahwa debitor dikenal dengan ketaatannya kepada hukum syari’ah Islam.

4. Tidak menjual utang emas dengan perak dan perak dengan emas untuk mencegah terjadinya kerugian salah satu pihak karena perbedaan harga dua jenis barang tersebut.

5. Bahwa dijual dengan jenis yang sama ataupun lain jenis tetapi harus dengan nilai yang sama, tidak boleh ada tambahan atas nilai aslinya.

6. Tidak ada permusuhan antara orang yang sudah membeli utang tersebut dan debitor.

7. Bahwa utang itu diperbolehkan untuk dijual sebelum menerimanya oleh syariah.

8. Dijual dengan tunai. Karena kalau tidak dilunasi waktu penjualan maka akan menjadi jual utang dengan utang dan itu tidak diperbolehkan oleh syariah.

B. bay’ul-dayn tidak sama dengan obligasi syariah

Obligasi mudaraba atau lebih dikenal di beberapa negara di Timur Tengah dengan nama obligasi muqaradah, kata ini sesunguhnya diambil dari kata qrad (mengutangi orang lain) dan ialah akad mudaraba. Mudaraba yang didirikan atas dasar suatu perkongsian antara dua pihak dimana pihak pertama bertindak sebagai penyandang dana dan pihak kedua sebagai pengelola usaha, maka pembagian laba dari hasil usaha tersebut sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati sebelumnya. Apabila usaha tersebut rugi maka pemilik dana (rabbul mal) akan kehilangan dana sesuai kerugian sedangkan pengelola kehilangan waktu, pikiran dan tenaga.

Obligasi mudaraba didefinisikan sebagai “obligasi yang mempunyai nilai nominal yang sama dan telah dikeluarkan atas nama pemiliknya sebagai pengganti atas uang yang sudah diberikan kepada mudarib untuk memanfaatkan uang tersebut dalam melaksanakan proyek investasinya sesuai dengan syariah serta memperoleh hasil investasi yang dipakai untuk melunasi nilai nominal obligasi tersebut dan sisanya dibagi antara mudarib dan pemilik obligasi tersebut sesuai dengan presentase pembagian yang sudah disepakati oleh kedua belah pihak”.

Terdapat beberapa jenis obligasi syariah yang lain seperti Obligasi Ijarah, Obligasi Murabahah, Obligasi Musyarakah, dan Obligasi Al-bai-bithaman ajil. Semua jenis obligasi syariah tersebut mengutamakan prinsip kemitraan.

Penulis berpendapat bahwa dari pembahasan di atas bisa ditarik kesimpulan bahwa tidak terdapat kaitan antara bay’al-dayn dengan obligasi syariah, dan hal itu tidak seperti yang ditulis di beberapa buku dan artikel karena jelas terdapat perbedaan yang besar yaitu:

1. Obligasi syariah dianggap sebagai sebuah pengakuan oleh mudarib bahwa pemegangnya memiliki bagian di dalam proyek yang sedang dilaksanakan dan memberinya hak untuk mendapatkan bagian dari hasil proyek tersebut sesuai dengan kesepakatan dalam akad obligasi. Lain halnya dengan utang karena kreditor tidak bisa mendapatkan nilai tambahan atas utangnya sehingga kalau terjadi seperti itu dianggap riba.

2. Obligasi syariah bisa dijual dengan harga lebih dari nilai nominal, karena pemegang obligasi tersebut menjual bagiannya pada proyek yang sedang dilaksanakan dengan harga pasar yang ditentukan oleh permintaan, tingkat keuntungan yang diharapkan, jenis investasi, dll. dan itu lebih memberi keleluasaan, dengan kata lain sama saja dengan saham. Lain halnya dengan utang yang tidak bisa dijual lebih dari nilai aslinya karena akan masuk ke dalam riba.

Dari sisi yang lain kita juga tidak bisa mengatakan bahwa obligasi konvensional sama dengan bay’al-dayn karena terdapat didalamnya unsur riba dan garar seperti yang dijelaskan di atas. Obligasi tersebut bisa dijual dengan harga lebih dari nilai nominalnya, dan dikategorikan dalam transaksi yang haram seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.

IV. Obligasi mudaraba sebagai alternatif di Indonesia

Indosat yang merupakan perusahaan telekomunikasi terbesar kedua di Indonesia sudah membuka lembaran baru. Suatu bentuk obligasi syariah yang sudah lahir di tengah kondisi pasar modal yang lesu, instrumen ini diharapkan menjadi alternatif baru investasi jangka panjang dengan menggunakan asas-asas hukum Islam. Perkembangan tersebut tentu bukan merupakan kerja instan. Sementara kinerja instrumen syariah umumnya baru terlihat setelah beberapa tahun mendatang. Dengan demikian, investasi di instrumen syariah merupakan instrumen jangka panjang. Namun pertanyaannya adalah, bak mutiara terpendam, mungkinkah obligasi syariah ini akan menjadi kekuatan baru di pasar modal? Kemudian, dapatkah obligasi syariah dijadikan benchmark bagi investasi yang lain, atau bahkan sebaliknya?

Indosat semula merencanakan untuk melepaskan obligasi mencapai Rp 1 trilyun. Di antaranya merupakan obligasi syariah yang mengincar dana masyarakat Rp100 milyar. Akhirnya nilai emisi yang semula hanya Rp 100 milyar ditingkatkan hingga Rp 175 milyar. Kenaikan ini, menurut analis AAA Sekuritas, Iggie Achsien, yang menangani khusus obligasi syariah ini, setidaknya didasarkan atas dua hal. Pertama, untuk memberikan kesempatan kepada para peminat obligasi syariah ini berperan serta. ''Obligasi syariah oversubcribed sampai lebih dua kali lipat. Jumlah mereka yang berminat lebih dari Rp 200 milyar,''. Alasan lainnya, untuk memperluas distribusi pasar yang lebih luas. ''Kalau distribusinya bisa lebih luas, kita harapkan pasar sekundernya bisa lebih likuid,'' dengan kenaikan nilai emisi ini komposisi obligasi Indosat secara total menjadi Rp 1,25 trilyun. Dari jumlah itu, Rp 175 milyar berasal dari obligasi syariah, sisanya Rp 1,075 trilyun untuk obligasi konvensional.
Direktur Utama Indosat, Widya Purnama, mengatakan telah mendapatkan izin dari Dewan Komisarisnya untuk menambah nilai obligasi yang akan diterbitkan sebanyak Rp 250 milyar. Ia menganggap penambahan nilai obligasi ini menandakan tingkat kepercayaan tinggi yang diberikan investor kepada Indosat.

Label BUMN dan sektor telekomunikasi merupakan langkah awal yang tepat untuk menggarap obligasi syariah. walaupun jumlah sebenarnya relatif kecil dibandingkan dengan obligasi konvensional Indosat. Dana yang dihasilkan oleh kedua obligasi Indosat ini direncanakan digunakan untuk pendanaan internal. Antara lain untuk mengembangkan usaha di bidang seluler melalui pendanaan akuisi anak perusahaan. Sebagian lagi akan digunakan untuk melunasi pinjaman jangka pendek. Dan hal ini juga bisa diindikasikan dalam pernyataan Meneg BUMN Laksamana Sukardi sekitar penambahan nilai obligasi Indosat ini, bahwa penambahan emisi obligasi Indosat tidak masalah asalkan bunganya murah karena obligasi ini diterbitkan untuk menukar bunga yang mahal. Berkaitan dengan hal ini penulis berpendapat bahwa obligasi mudarabahh Indosat tidak bisa digunakan untuk melunasi utang, karena tujuan utama untuk menerbitkan obligasi tersebut ialah mudaraba dalam arti diinvestasikan bukan untuk melunasi utang, dan akan masuk dalam bab bay’al-dayn bi-dayan (penjualan utang dengan utang) yang diharamkan oleh para ulama fiqh.

Prospek Obligasi Syariah

Kekhawatiran investor terhadap obligasi syariah memang ada benarnya. Namun, tidak ada salahnya melihat kesiapan dari penjamin emisi tersebut. Tampilnya obligasi syariah Indosat merupakan pelopor di industrinya. Maka sudah barang tentu yang tampil sebagai lead underwriter telah dan akan menggodoknya dengan serius. Sebab diharapkan dalam waktu mendatang, obligasi syariah ini merupakan revenue resources berkelanjutan jika obligasi ini sukses baik di pasar perdana bahkan sampai pada saat pengembalian jatuh tempo nanti.

Bukan tidak mungkin akan memancing pula munculnya obligasi syariah (mudaraba) lainnya. Penjamin emisi yang merupakan juru masak terhadap obligasi syariah Indosat ini telah dan akan terus mencoba berbagai upaya agar obligasi tersebut tidak menimbulkan keraguan dari berbagai pihak. Dukungan berbagai pihak tampaknya mulai bermunculan, dari upaya Bapepam yang terus mengkaji institusi maupun instrumen syariah, serta keluarnya fatwa dari Dewan Syariah Nasional (Majelis Ulama Indonesia/MUI) yang memberikan batasan-batasan terhadap obligasi yang akan dikeluarkan tersebut.

Obligasi Syariah yang ditawarkan tersebut adalah Obligasi Syariah Mudaraba Indosat tahun 2002. Mudaraba setidaknya merupakan investasi bagi hasil (revenue sharing). Tentu bentuk ini memiliki perbedaan mendasar dengan obligasi konvensional yang berharap riba pada tingkat suku bunga yang diberikan. Obligasi ini juga memungkinkan pengembalian yang utuh (100%) pada akhir jatuh tempo oleh emiten kepada investornya. Dengan pengembalian 100% tersebut tentu ini akan membuat pasar obligasi syariah dengan sistem ini menjadi lebih menarik. Sebab, juga akan memperoleh pendapatan lain dari fee atau margin sesuai dengan akad yang disepakati kedua belah pihak. Uniknya lagi, ada lembaga dari MUI yakni Dewan Syariah Nasional yang akan memonitor dan mengawasi jalannya instrumen obligasi ini sejak masa penawaran hingga jatuh tempo nanti. Padahal pada obligasi konvensional kita hanya melihat satu lembaga yang mewakili kepentingan investor, yakni Wali Amanat.

Instrumen keuangan (obligasi syariah) saat ini sudah memperoleh pengesahan dari IOC Academy, dengan demikian investor yang ingin berinvestasi pada instrumen obligasi syariah tidak perlu khawatir, sebab telah memperolah label halal secara internasional. Pola bagi hasil yang ditanamkan dalam bentuk obligasi syariah mudaraba ISAT merupakan pola yang terkandung dalam prinsip-prinsip syariah. Obligasi Syariah Indosat Mudaraba ini memiliki jangka waktu lima tahun dan setelah itu revenue sharing dibayarkan kembali kepada investornya. Dan Dewan Syariah Nasional telah memberikan batasan-batasan terhadap obligasi mudaraba baik yang sesuai ataupun tidak sesuai dalam lingkup syariah, serta melakukan pengawasan terhadap pengelolaannya. Hal ini setidaknya merupakan upaya perlindungan investor yang dilakukan oleh Dewan Syariah Nasional terhadap resiko obligasi syariah mudaraba Indosat. Sebenarnya investasi pada produk syariah dilihat dari sisi norma agama Islam, tentu kecil kemungkinan akan merugikan. Pola investasi yang diambil dari Al Qur’an dan hadis serta berbagai pertimbangan ilmu dan ulama fiqh tentu mempertimbangkan akan memberikan hasil win-win solution. Baik penerima manfaat ataupun pemberi manfaat. Kekawatiran akan investasinya merupakan hal lumrah yang pasti dialami oleh semua orang. Produk syariah sebenarnya telah melalui proses yang panjang dan berliku yang akhirnya memiliki standar baku.

Moral hazard pada individual maupun tim pengelola serta institusi dengan berlabel syariah seperti ini umumnya lebih peka ketimbang yang konvensional. Sebab batasan tersebut tidak hanya menyangkut hubungan horisontal saja kepada sesama, namun juga hubungan vertikal dengan Khaliknya. Instrumen syariahlah yang relatif lebih aman dan memiliki daya tahan yang tinggi di tengah gempuran krisis moneter yang sempat melanda Indonesia beberapa tahun yang lalu. Dan melihat berbagai bank besar konvensional tumbang akibat akal-akalan yang dilakukan pada era yang lalu.

Pengukuran kinerja produk syariah tentu tidak bisa dibandingkan dengan produk konvensional yang ada. Selain aset yang mungkin sangat timpang dengan syariah, juga kebiasaan akibat tergadainya masyarakat Indonesia dalam kungkungan kapitalis. Walaupun penduduk Indonesia sebagian besar mayoritas muslim, tetapi produk kapitalis lebih dulu masuk dan mengena di masyarakat. Akibatnya pola pikir pun selalu dipadukan kepada untung-rugi. Maka penulis mengharapkan bahwa produk syariah tidak tertinggal jauh dibandingkan produk finansial konvensional lainnya.

V. Investor Eropa Tertarik Obligasi Syariah Indosat

Investor Eropa bisa dibilang komponen yang paling memperhatikan obligasi syariah setelah komunitas Timur Tengah. Kenapa demikian? Setidaknya ada tiga hal. Pertama, banyak fund manager di sana yang sebetulnya mengelola dana milik orang-orang muslim kaya, khususnya dari petrodolar. Apalagi setelah tekanan Amerika yang terus menyudutkan negeri-negeri muslim sebagai biang teroris, dikabarkan tidak kurang 200 milyar dolar rekening yang disimpan investor Timur Tengah yang ditarik dari AS dan dipindahkan ke Eropa. Jadi bukan mustahil bila kemudian para fund manager Eropa ketiban rezeki nomplok mengelola dana segar itu.

Kedua, mulai selektifnya investor dalam menanamkan dana investasinya. Dalam hal ini, perkembangan sektor finansial syariah di Timur Tengah juga di Asia, khususnya Malaysia, memerlukan lahan investasi yang juga punya basis syariah. Karena itu, para pengelola dana di Eropa yang menjadi kepanjangan tangan dari para pemilik dana muslim juga akan mencari investasi yang berbasis syariah. Investasi dengan jargon, “no weapon, no drug, no alcohol, and no porn” bisa dipastikan akan mengalir kepada investasi yang aman dan sesuai syariah.

Ketiga, kompetitif. Karena obligasi syariah ini menawarkan keuntungan yang kompetitif dan bersaing dengan penawaran obligasi sejenis yang konvensional.

Obligasi syariah mudaraba Indosat, Islamic bond pertama di Indonesia, menjadi perhatian investor Eropa. Manajemen Gestelle SpA, fund manager terkemuka dari Italia, mengisyaratkan ketertarikannya untuk melihat potrfolio obligasi ini.

Direktur Keuangan PT Indosat, Junino Jahja mengatakan setelah roads show ke beberapa investor besar Indosat di Eropa. ''Mereka juga menanyakan, apakah sejauh ini investor Timur Tengah sudah ada yang menyatakan komitmen''. Menurut Junino perhatian dari investor Eropa itu di luar dugaannya, sebab Indosat memang lebih memposisikan obligasi syariah yang diterbitkan untuk bisa diserap oleh pasar lokal sendiri. ''Dari awal kita plot untuk bisa memenuhi target domestik”.

Beberapa investor domestik dikabarkan telah menyatakan minatnya. Di antaranya, Bank Muamalat Indonesia (BMI), Bank Syariah Mandiri (BSM), dan BNI Unit Syariah. Sementara PT Jamsostek yang telah menyediakan dana Rp 500 milyar untuk memborong obligasi Indosat (konvensional), dan tidak berminat untuk mengambil obligasi syariah dengan alasan masih ada kendala teknis. Sedangkan dari luar negeri, Bank Pembangunan Islam (IDB) juga dikabarkan salah satu yang berpeluang membeli obligasi syariah ini.

Mungkin belajar dari sini, Malaysia langsung menentukan pilihan dalam roads show untuk menawarkan obligasi syariah yang diterbitkan oleh negara jiran itu senilai 500 juta dolar AS ke Eropa di samping ke Timur Tengah. Hasilnya? Dari nilai obligasi itu, 20 % diborong oleh bank-bank di London, 40 % oleh investor Timur Tengah, dan sisanya diburu oleh investor dari Asia Tenggara dan investor domestik. Untuk bisa mencapai kepercayaan seperti itu, obligasi Malaysia yang disebut Malaysia Global Sukook (MGS), langsung dicatatkan di Luxembourg Stock Exchange, dan obligasi itu juga langsung mendapatkan peringkat BBB dari Standar & Poor's.

VI. Manfaat Obligasi Syariah untuk Perbankan Syariah di Indonesia

BI dalam fungsinya sebagai The Leader of Last Resort adalah membantu bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas. Menurut ps. 11 (1) UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia adalah bahwa BI dapat memberi kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah untuk jangka waktu paling lama 90 hari kepada bank untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek bank tersebut. Hanya saja kesulitan terjadi ketika UU tersebut juga menentukan bahwa bank konvensional maupun bank syariah wajib memberikan jaminan berupa agunan yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan serta nilainya minimal sebesar jumlah kredit atau pembiayaan yang diterimanya. Sedangkan maksud agunan yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan adalah meliputi surat berharga atau tagihan yang diterbitkan oleh pemerintah atau badan hukum lain yang mempunyai otoritas. Bagi bank syariah untuk dapat menyediakan agunan berupa surat-surat berharga dan/atau tagihan yang tidak berbunga,27 dulu belum dimungkinkan karena pasar keuangan (financial market) yang berdasarkan prinsip syariah belum berkembang di Indonesia. Tetapi sekarang keadaan ini sudah berubah dan indikasinya adalah berdirinya pasar keuangan sesuai dengan prinsip syariah terbuka lebar, walaupun nilai obligasi syariah Indosat masih jauh dari harapan, tetapi itu tidak akan menutup kemungkinan bank-bank syariah di Indonesia akan megikuti langkah Indosat sehingga hal itu akan membuka peluang investasi yang besar terhadap perbankan syariah dan akan berpartisipasi dalam menyelesaikan masalah likuiditas yang dialami semua lembaga keuangan syariah di Indonesia dewasa ini.

Bank Muamalat Indonesia (BMI) mempertimbangkan untuk menerbitkan obligasi syariah guna mendapatkan dana pengembangan operasinya, dan rencana penerbitan obligasi syariah saat ini masih dalam tahap kajian. Pengkajian kemungkinan penerbitan obligasi syariah ini, karena produk tersebut masih sesuatu yang baru. Menurut Direktur Utama BMI, M. Riawan Amin, pengkajian ini diperlukan karena obligasi syariah merupakan sesuatu yang tidak riil. Sehingga, apabila proyek berakhir, obligasi pun berakhir. Akan tetapi, kalau bank ini sampai suatu titik tiba-tiba obligasinya berakhir kemudian tingkat pembiayaan bank masih begitu tinggi, maka bank tersebut akan menghadapi rasio likuiditas yang tinggi.
Dengan alasan tersebut, right issue (penerbitan saham terbatas) tetap menjadi pilihan bagi BMI karena relatif lebih aman dibandingkan dengan penerbitan obligasi syariah.

Menurut Dirut Tazkia Institut, Zainul Arifin berpendapat dalam seminar Obligasi Syariah: Kendala dan Prospeknya di Indonesia yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Indonesia, perbankan syariah sangat terbuka untuk menerbitkan obligasi syariah. Hanya saja, prospeknya sangat tergantung dari persepsi masyarakat. Selain itu, tidak seperti emiten yang lain, perbankan yang mau menerbitkan obligasi tunduk pada dua institusi sekaligus: Bapepam dan Bank Indonesia.

Anggota Dewan Syariah Nasional (DSN), Cecep Maskanul Hakim, mengemukakan bahwa perbankan yang hendak menerbitkan obligasi syariah harus memenuhi beberapa syarat. Salah satunya, underlying asset-nya harus didukung oleh aset riil.

G. Kesimpulan

Makalah ini bertujuan untuk menjelaskan pendapat Ulama Islam mengenai Baiyul Dayn (jual utang) dan perbedaannya dengan obligasi; pendapat para ulama Islam yang temporir mengenai obligasi yang mendasari terjadinya perbedaan pandangan mengenai obligasi konvensional dewasa ini; dan pada bagian akhir paper, penulis akan memberi analisis yang rinci mengenai munculnya obligasi syariah di Indonesia serta gambaran mengenai manfaat dari obligasi syariah terhadap lembaga keuangan syariah di Indonesia.

Dari hasil pembahasan dalam makalah ini bisa ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Bahwa yang paling bisa diterima di antara semua fatwa para ulama mengenai Obligasi Konvesional ialah fatwa para ulama yang mengharamkan obligasi konvensional untuk semua jenis, karena obligasi itu adalah utang yang berbunga atau dalam kata lain uang yang sudah dipinjamkan kepada perusahaan atau pemerintah dengan imbalan bunga (riba) yang diberikan kepada para kreditor. Sementara itu riba-nya termasuk dalam riba al nasia yang secara jelas diharamkan oleh Qur’an dan Sunnah.

2. Bahwa tidak terdapat kaitan antara bay’al-dayn dengan obligasi syariah, dan hal itu tidak seperti yang ditulis di beberapa buku dan artikel karena jelas terdapat perbedaan yang besar antara duanya.

3. Terdapat dua lembaga yang akan memonitor dan mengawasi jalannya instrumen obligasi ini sejak masa penawaran hingga jatuh tempo nanti yakni Dewan Syariah Nasional dan Wali Amanat. Hal ini setidaknya merupakan upaya perlindungan investor terhadap resiko obligasi syariah mudaraba Indosat.

4. Dukungan berbagai pihak seperti Bapepam yang terus mengkaji institusi maupun instrumen syariah, serta keluarnya fatwa dari Dewan Syariah Nasional (Majelis Ulama Indonesia/MUI) yang memberikan batasan-batasan terhadap obligasi yang akan dikeluarkan tersebut, menurunkan kekhawatiran investor terhadap obligasi syariah.

5. Pengukuran kinerja produk syariah tentu tidak bisa dibandingkan dengan produk konvensional yang ada, karena tidak mungkin membandingkan antara halal dan haram.

6. Perbankan syariah sangat terbuka untuk menerbitkan obligasi syariah. Hanya saja, prospeknya sangat tergantung dari persepsi masyarakat. Selain itu, tidak seperti emiten yang lain, perbankan yang mau menerbitkan obligasi tunduk pada dua institusi sekaligus: Bapepam dan Bank Indonesia.

Daftar Pustaka

Abdul Aziz al Kahiat, “Al Sharikat fi al Syariah al Islamia”, (Wazarat al Awqaf, Amman, cet.1, 1971).

Ali al Salus, “Hukum wadiah bank wa Shahadatul Isstismar”, (Dar’ul Thakafah, Baharin, cet. 1, 1990).

Abdul Rahman Zuaitar, “Hukum Islam fi Shahadatul Isstismar”, (Dar al Hassan, cet.1, 1992), hal. 22.

Haryajid Ramelan, Selamat Datang Obligasi Syariah”, (Media Indonesia), dalam www// media-indonesia.com, Kategori Ekonomi & Bisnis, 2 Oktober 2002.

Kwik Kian Gie, “Adakah Bank yang Sehat Karena Obligasi Rekap?”, (Media Indonesia), dalam www// media-indonesia.com, Kategori Ekonomi & Bisnis, 25 September 2002.

Kwik Kian Gie, “Obligasi Pemerintah Membuat Tidak Waras”, (Media Indonesia), dalam www// media-indonesia.com, Kategori Ekonomi & Bisnis, 23 September 2002.

Muhammad Shaltut, “Al-Fatawi”, (Dar’al Shuruq, cet. 10, 1980).

Muhammad Yusuf Mussa, “Al-Islam wa Mushkilatuna al Hadira”, (Al Maktab al Fani, Kairo, 1958).

Muhammad Usman Shabir, “Al Muamalat al Malia al Muassarah fi’al figih al Islami”, (Dar al Nafa’ass, Amman, 1996).

Nazih Kamal, “Al Tassaruf Fi’al Dayn fi’al fiqh al Islami”, Jurnal Universitas Umul qura, (Vol. 35, 1995).

Omar Bin Abdul Aziz, “Al Riba wa’al Muamalat al Massrifiah”, (Dar al Assima, Arab Saudi, cet. 2, 1987).

Republika Online, “Nilai Emisi Obligasi Syariah Naik Jadi Rp 175M”, dalam www//republika.co.id, Kategori ekonomi, Jumat, 18 Oktober 2002.

Republika Online,“BMI Jajaki Terbitkan Obligasi”, dalam www//republika .co.id, Kategori ekonomi, Rabu, 06 Nopember 2002.

Republika Online, “Investor Italia Tertarik Obligasi Syariah Indosat” , dalam www//republika.co.id, Kategori ekonomi, Jumat, 27 September 2002.

Republika Online,“Obligasi Syariah Oversubcribed Dua Kali”, dalam www//republika .co.id, Kategori ekonomi, Kamis, 17 Oktober 2002.

Syamsul Anwar, “ Al banuk al Islamia fi’al Qanun al Banuk Indonesia” , (Al –Jami’ah, Vol. 39, 2001).

Saiful Azharan and Mohamood M. Sanusi, “The Application of Bay’al inah and Bay’al-dayn in Malaysia Islamic Bonds: An Islamic Analysis, Interanasional Journal of Islamic Servise, Vol.1, No. 2, 1999.

Saleh Marzuki, “Sharikat al Mussahama fi’al Nizamm al Saudi”, (Matapa al Safa, Arab Saudi, 1986).

Yusuf Kardawi, “Fiqh al Zakat”, (Muassassat al Rissala, cet.5, 1980).

Vogel, Frank E. and Hayes, Samuel L., “Islamic Law and Finance, Religion, Risk, and Return”, (Cambrige: Kluwer Law Internayional).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar